Pranata adalah sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat untuk berinteraksi (Koentjaraningrat, 2011: 133). Sebagai sebuah sistem nilai, pranata terdiri dari konsep umum tentang segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman hidup bagi warga masyarakat pendukungnya. Sebuah pranata dapat dijadikan sebagai pedoman hidup ketika pranata tersebut mampu mengarahkan kehidupan warga yang menganutnya. Walaupun demikian, Koentjaraningrat (2011: 76) menjelaskan bahwa pranata memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan bersifat umum. Penjabaran yang lebih rinci atas konsep-konsep tersebut tertuang dalam sistem norma yang terdiri atas aturan-aturan untuk bertindak. Koentjaraningrat menyebut sistem norma tersebut sebagai adat istiadat (Koentjaraningrat dalam Darmoko, 2002: 31).
Adat istiadat merupakan sistem norma yang merepresentasikan kepercayaan dan tujuan suatu masyarakat sebagai landasan utama dalam bertingkah laku. Adat istiadat Jawa berarti norma-norma yang digunakan masyarakat Jawa dalam bertingkah laku, hubungannya dengan kepercayaan masyarakat Jawa atas alam semesta. Masyarakat Jawa memandang bahwa alam semesta terdiri atas dua bagian, yaitu jagad cilik dan jagad gedhe yang saling mempengaruhi. Tindakan manusia sebagai bagian dari jagad cilik dapat mempengaruhi keteraturan susunan alam semesta. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk menyelaraskan kedua unsur alam semesta tersebut melalui adat istiadat.
Mulder (dalam Darmoko, 2002: 35), menyatakan ada tiga konsep masyarakat Jawa dalam memandang hubungan antar unsur-unsur alam semesta, yaitu konsep kosmis, magis, dan klasifikatoris. Konsep kosmis menganggap bahwa alam semesta adalah satu kesatuan yang harmonis dan selalu berhubungan. Konsep magis menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi dalam unsur-unsur alam semesta dapat mempengaruhi keteraturan tatanan di dalamnya. Adapun konsep klasifikatoris memandang bahwa manusia memiliki fungsi dan kedudukan dalam hubungannya dengan unsur alam semesta yang lain. Ketiga konsep tersebut terangkum dalam adat istiadat Jawa.
Kepercayaan masyarakat Jawa atas ketiga konsep tersebut diwujudkan melalui tindakan upacara-upacara adat. Upacara tersebut digunakan sebagai media bagi masyarakat Jawa untuk menyelaraskan tatanan alam semesta. Berdasarkan tujuannya, wujud dari upacara adat masyarakat Jawa pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu upacara untuk menyelaraskan lingkungan alam, upacara untuk menyelaraskan hubungan antara jagad gedhe dan jagad cilik (berhubungan dengan kekuatan adikodrati), dan upacara hubungannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Upacara penyelarasan alam adalah rerangkaian upacara yang dilakukan masyarakat Jawa untuk menjaga hubungan baik dengan lingkungan alam. Upacara ini berkaitan dengan alam sebagai objek sasaran dari diadakannya upacara selamatan. Salah satu contoh upacara ini adalah selamatan sedekah bumi. Selamatan sedekah bumi berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat dalam bidang agraris. Upacara ini mengandung maksud agar masyarakat mampu menghargai dan mengolah alam secara proporsional, sehingga alam memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan konsep magis di atas, di mana tindakan yang terjadi di alam jagad cilik dapat mempengaruhi tatanan jagad gedhe. Jagad cilik diartikan sebagai manusia, sedangkan jagad gedhe dapat diartikan sebagai lingkungan alam sebagai penghasil bahan makanan.
Upacara hubungannya dengan kekuatan adikodrati merupakan upacara yang digunakan sebagai media komunikasi terhadap kekuatan yang melingkupinya agar menjamin keselamatan hidup manusia. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap hal ini tercermin melalui berbagai upacara selamatan siklus hidup, misalnya selamatan mitoni, selapanan, maupun upacara ruwatan.
Adapun upacara kaitannya dengan sistem sosial adalah sebagai media perekat komunikasi antar masyarakat. Dalam setiap upacara selamatan masyarakat Jawa, selalu disertai dengan adanya kenduren, atau makan bersama. Selain itu, upacara selamatan juga berguna untuk menjaga tatanan sosial yang ada, misalnya upacara pernikahan. Seseorang menyelenggarakan suatu upacara pernikahan pada dasarnya untuk memberi tahu kepada lingkungan sosialnya, bahwa mereka telah mengikuti adat kebiasaan yang ada pada lingkungan masyarakat tersebut, sehingga tidak dianggap sebagai anggota masyarakat yang menyimpang.
Masyarakat yang dianggap menyimpang dari tatanan pranata berdampak pada pengakuan statusnya dalam lingkungan masyarakat tersebut. Sumner (dalam Koentjaraningrat, 2011: 78), menyatakan terdapat dua konsekuensi logis atas pelanggaran terhadap sistem norma yang berlaku pada masyarakat, yaitu sanksi berupa hukuman formal dan sanksi sosial. Kedua sanksi tersebut didasari atas norma apa yang dilanggar oleh anggota masyarakat.
Sanksi berupa hukuman formal dikenakan bagi orang yang melanggar norma yang berakibat panjang jika dilanggar. Dalam masyarakat Jawa, sanksi berupa hukuman langsung jarang ditemui, hal tersebut disebabkan sikap masyarakat Jawa yang cenderung menjaga keharmonisan hubungan sosial kemasyarakatan, yaitu kayenak tyasing sasama. Misal, seorang pelanggar pranata sosial dalam hal tindakan asusila, hukuman yang diterapkan berupa menikahkan kedua pasangan tersebut agar sah secara hukum.
Adapun sanksi sosial berupa gunjingan dan ejekan diterapkan bagi pelanggar norma yang tidak begitu berat. Dalam masyarakat Jawa, sanksi gunjingan dan ejekan dipandang efektif untuk menghukum individu yang tidak melaksanakan pranata yang ada. Gunjingan atau ejekan tersebut misalnya berupa penggunaan kalimat wis ora njawani atau wis kelangan Jawane. Kata tersebut cukup untuk menyindir masyarakat Jawa yang tidak mengindahkan pranata-pranata Jawa dalam tindakannya. Penggunaan sindiran-sindiran dimaksudkan agar seorang individu melakukan pencerminan diri atas tindakannya yang menyebabkan munculnya kritik sosial terhadapnya.
Daftar Pustaka
Darmoko. 2002. “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa”, dalam Makara Sosial Humaniora. 6:1, halaman: 30-35
Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
BalasHapusDan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya