1.
Pendahuluan
Indonesia merupakan
sebuah negara yang kaya akan tradisi dan adat istiadat. Sebagian tradisi
tersebut ada yang masih murni dan ada yang sudah mengalami perubahan bentuk,
seperti dimasuki oleh unsur-unsur keagamaan. Salah satu tradisi yang dimasuki
adalah tradisi syawalan biasa
dilakukan setelah lebaran Idul Fitri. Syawalan
merupakan tradisi yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, walaupun
hakikatnya tradisi ini datang setelah muncul inisiatif dari beberapa kalangan
ulama terdahulu sebagai tradisi untuk mengemban amanah keagamaan yaitu dalam
bentuk silaturahmi. Tradisi syawalan
hadir sebagai konsep untuk membentuk masyarakat yang arif menjalani kehidupan
yang penuh dengan tantangan. Ibnu Djarir menegaskan bahwa tradisi syawalan di Yogyakarta pada awalnya
merupakan konsep yang ditawarkan oleh pangeran Sumbernyawa dalam rangka
menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Oleh karena itu, setelah salat
Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit
secara serentak di balai istana dalam acara tersebut. Semua punggawa dan
prajurit dengan tertib dan teratur melakukan sungkeman kepada raja dan
permasuri.
Budaya Syawalan biasa disebut dengan Lebaran
Ketupat. Orang Jawa menyebutnya dengan Lebaran
Kopat atau acara Syawalan. Syawal
merupakan nama sebuah bulan dalam kalender Islam. Tradisi ini bagi masyarakat
Jawa sudah menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri atau
setelah menjalankan puasa syawal
selama enam hari. Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang dibuat
dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk belah ketupat yang di dalamnya
berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk
simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali
suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa
diterjemahkan dengan “Laku Lepat”
yang di dalamnya mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur.
Lebar artinya luas, lebur artinya dosa/kesalahan yang sudah diampuni, luber
maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria.
Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia
setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang
yang suci dan bersih.
Berbagai kelompok
masyarakat di berbagai daerah mempunyai ciri dan caranya masing-masing dalam
memaknai Lebaran Ketupat. Masyarakat yang tinggal di Kaliwungu, Kendal, Jawa
Tengah misalnya. Sehari menjelang Lebaran Ketupat yang jatuh tiap tanggal 8
Syawal tiap tahunnya, mereka beramai-ramai menyerbu pasar-pasar untuk membeli
berbagai keperluan bahan pembuat ketupat. Bila kita berkesempatan ke sana,
setiap rumah pasti menyediakan ketupat ini.
Masyarakat Kaliwungu
mengawali prosesi Lebaran Kopat atau Syawalan dengan mengunjungi atau
menziarahi para makam ulama setempat atau tokoh agama yang sangat disegani dan
dihormati, salah satunya Kyai Asy’ari (Kyai Guru). Setibanya di makam tersebut
mereka melakukan ritual keagamaan dengan cara melakukan doa bersama dan
sekaligus memperingati wafatnya sang tokoh atau populer disebut dengan khoul.
Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984: 328) menerangkan bahwa salah satu
tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup adalah adanya penghormatan
kepada makam-makam orang suci, baik ulama atau kyai. Setelah doa selesai digelar,
mereka bersama-sama menikmati hidangan yang telah tersedia dengan menu utama
berupa hidangan ketupat yang dicampur dengan sayur dan lauk-pauknya.
Sedangkan, Masyarakat
Jepara, Jawa Tengah menyebut Syawalan
dengan Lomban. Prosesinya diawali
dari kawasan tempat pelelangan ikan, Ujung Batu, Jepara. Di tempat tersebut
masyarakat menyediakan sesaji berupa satu kepala kerbau yang dihiasi dengan
pernak-pernik makanan dan sayuran. Setelah melakukan doa bersama yang dipimpin
oleh seorang kyai, seluruh sesaji tersebut kemudian diletakkan di atas kapal
kecil untuk dilarung di tengah laut. Pada saat itulah makanan sesaji itu
menjadi rebutan bagi para nelayan atau masyarakat sekitar. Tradisi ini menurut
warga setempat sebagai bentuk ungkapan syukur atas perlindungan dan berkat yang
diterima warga Jepara selama satu tahun dan memohon perlindungan dan rezeki
berlimpah untuk satu tahun mendatang.
Sementara masyarakat Desa
Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah memperingati Syawalan dengan cara membuat lopis
raksasa seberat 5,5 kuintal dengan ketinggian dua meter berdiameter 150 cm.
Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1855 M yang pertama kali digelar oleh KH.
Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Reksa. Acara ini
digelar sebagai sarana untuk menciptakan kerukunan umat muslim di samping juga
sebagai suatu media untuk syiar agama Islam. Ribuan warga rela berdesakan dan
saling berebut untuk mendapatkan potongan lopis raksasa tersebut. Konon, siapa
yang mendapatkan lopis tersebut akan mendapat berkah.
2.
Pembahasan
Sejarah Ki Bahureksa dan Pekalongan
Kisah Ki Bahureksa yang membabat tanah Pekalongan
bermula dari kisah seorang pemuda bernama Jaka Bahu, putra tunggal Ki Ageng
Cempaluk yang ingin mengabdikan diri pada kerajaan Mataram. Pada waktu itu, Mataram
berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Jaka Bahu berasal
dari sebuah desa kecil bernama Kesesi (berasal dari kata kasisian yang artinya pengasingan).
Ki Ageng Cempaluk sendiri adalah punggawa Maaram yang
karena kesalahannya kemudian diasingkan dan membangun sebuah padepokan di desa
Kesesi, yang letaknya di hulu kali Comal. Konon kesaktian Ki Cempaluk sudah
terdengar lama dan menjadi buah bibir di keraton Mataram. Maka tanpa banyak
pertimbangan, Sultan Agung akhirnya menerima bakti Jaka Bahu.
Namun sudah menjadi sarat mutlak bahwa setiap prajurit
yang hendak mengabdi kepada negara harus melalui tiga tahap pendadaran atau uji
kesetiaan pada negara terlebih dahulu. Termasuk kemampuan mengatasi masalah dan
olah keprajuritannya.
Tahap pertama yang diajukan kepada Jaka Bahu adalah
membendung kali Sambong, karena setiap musim kemarau selalu saja sawah-sawah
rakyat di sepanjang aliran sungai tersebut selalu kekeringan, dan dengan
membendung kali Sambong di Kabupaten Batang diharapkan air dapat naik dan
mengairi sawah-sawah di sekitar tempat tersebut sehingga hasil panen dapat
meningkat. Tetapi, kali Sambong sendiri terkenal angker, dan sudah beberapa
kali dilakukan pembendungan namun selalu gagal. Begitu pula yang dialami oleh
Jaka Bahu elama tiga kali upayanya membendung kali tersebut. Hal tersebut
membuat bingung Jaka Bahu, hingga akhirnya dia melakukan tapa brata dan bertemu
dengan siluman welut putih penunggu
kali tersebut. Dalam tapanya tersebut, terjadi perkelahian antara Jaka Bahu dan
siluman tersebut yang dimenangkan oleh Jaka Bahu.
Setelah berhasil melaksanakan tugas pertama, tugas
berikutnya adalah membuka lahan baru di tepi pantai utara sebelah Kabupaten
Batang, yaitu alas Gamibran, atau sekarang Gambaran. Sewaktu itu alas Gambiran
adalah alas yang sering dihindari oleh para rombongan pedagang yang melakukan
perjalanan jauh karena keadaannya yang angker dan tidak tersentuh. Kepercayaan
masyarakat pada waktu itu menyatakan bahwa setiap orang yang masuk ke hutan
Gambiran pasti dia hanya akan berputar-putar di dalamnya dan tidak pernah bisa
keluar lagi dengan selaamat, begitu pula yang dialami oleh para prajurit Jaka
Bahu. Atas dasar tersebut, kemudian Jaka Bahu melaksanakan tapa ngidang, namun tetap dapat digagalkan oleh Dewi Lanjar yang
diutus Ratu Kidul untuk menggagalkan upaya Jaka Bahu. Atas saran ayahnya, Jaka
Bahu kemudian melaksanakan tapa ngalong
selama 40 hari. Berkat usahanya tersebut, Jaka Bahu berhasil mengalahkan Dewi
Lanjar dan berhasil membuka lahan baru di daerah tersebut yang kemudian dinamai
Pekalongan (yang berarti tempat melakukan tapa
ngalong).
Tugas ketiga adalah mengalahkan Belanda di Batavia,
namun tugas tersebut tidak berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu.
Jaka Bahu dan pasukannya menderita kekalahan dalam melawan Belanda. Kekaahan
tersebut membuat Jaka Bahu tidak berani pulang ke Kadipaten Kendal, dia memilih
untuk mendirikan keraton kekadipatenan yang letaknya di sebelah selatan
Wiradesa (sekarang daerah keraton tersebut bernama Kadipaten). Tetapi kabar
tersebut terdengar oleh Raja Mataram dan kemudian mengutus seorang pendekar
China bernama Tan Jin Kwen yang kemudian diangkat dan ditetapkan sebagai
adipati Pekalongan pertama setelah berhasil menyingkirkan Jaka Bahu.
Terdapat versi lain yang menyebutkan bahwa ki
Bahureksa atau Jaka Bahu meninggal karena terluka parah sewaktu perang di
Batavia. Ki Bahureksa mengalami luka yang parah akibat terkena meriam Belanda.
Ketika perjalanan pulang sampai di kota, beliau tidak mampu bertahan. Akhirnya
Ki Bahureksa meninggal dunia dan dimakamkan oleh para pengikutnya di daerah
Lebaksiu – Tegal.
Gb
1. Makam Ki Ageng Cempaluk di daerah Kesesireja, Kecamatan Bodeh, Pemalang.
Gb
2. Makam Tumenggung Bahureksa (Ki Jaka Bahu) di astana Jambu, Desa Lebaksiu
Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Tegal.
Tradisi Syawalan
Kota Pekalongan
Hasil penelitian Bagus
Ariyanto tentang tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan (2010) dimuat pada
halaman http://eprints.undip.ac.id/19796/ menyebutkan bahwa tradisi syawalan merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dilakukan
masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan
menggunakan simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan, yaitu lopis, daun pisang,
tali, bambu, dan lotisan. Resepsi masyarakat terhadap makna simbolik tradisi syawalan termasuk dalam kategori tahu
dan percaya. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur terhadap
30 orang narasumber, sebanyak 73,33 % masyarakat menyatakan tahu dan percaya
terhadap makna simbolik tradisi syawalan.
Mereka tahu dan percaya bahwa lopis merupakan simbol persatuan dan kesatuan
masyarakat Krapyak Kidul, daun pisang merupakan simbol perjuangan yang tidak
pernah berhenti, tali merupakan simbol hubungan manusia dengan sesamanya, bambu
merupakan simbol hubungan manusia dengan Allah SWT, dan lotisan merupakan
simbol keberagaman masyarakat Krapyak Kidul.
Bagi warga Pekalongan khususnya dan masyarakat Pantura Jawa umumnya,
kemeriahan lebaran biasanya bukan pada saat Idul Fitri, melainkan pada tanggal
ke-8 Bulan Syawal, yang dinamakan Syawalan. Sebagai masyarakat agamis yang taat
dan patuh pada ustadz/kyai, umumnya setelah Idul Fitri umat Islam masih
melaksanakan puasa sunnah 6 hari. Pada hari ke-8 Bulan Syawal itulah,
warga masyarakat merayakan lebaran yang sesungguhnya dengan berbondong-bondong
saling berkunjung ke rumah sanak famili dan ke tempat-tempat hiburan.
Pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak Pekalongan merayakan hari raya
setelah berpuasa 6 hari. Para sesepuh dan tokoh masyarakat
setempat menerima tamu baik dari luar desa dan luar kota (sekarang
istilahnya open house). Hal ini diikuti oleh masyarakat di
luar wilayah Krapyak, sehingga mereka pun tidak mengadakan kunjungan
silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal,
melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal.
Kegiatan ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa
sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.
Menurut informasi, tradisi Syawalan ini sudah dimulai sekitar 160
tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855, ketika KH. Abdullah Sirodj yang
merupakan keturunan dari Kyai Bahurekso (Perwira Kerajaan Mataram yang
ditugaskan menjaga wilayah Pekalongan dan sekitarnya) menggelar
hajatan Syawalan. Lopis, merupakan suguhan utama bagi para tamu. Mengingat
banyaknya tamu yang hadir, lopis dibuat dengan ukuran besar. Tradisi ini
berlanjut pada Syawalan tahun-tahun berikutnya. Adapun upacara pemotongan lopis
ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, kepala desa
(lurah) Krapyak pada saat itu. Sekitar tahun 1970-an upacara ini mulai
menjadi agenda kegiatan pemerintah kota dan Walikota yang memimpin
pemotongan tumpeng raksasa sebelum dibagi-bagikan kepada pengunjung.
Gb 3. Proses
pembuatan lopis raksasa
Tradisi Syawalan Lopis Raksasa saat ini sudah menjadi
salah agenda tahunan wisata Kota Pekalongan. Bukan hanya warga sekitar
Krapyak atau Kota Pekalongan, bahkan dari berbagai daerah juga berminat
menyaksikan upacara pemotongan lopis raksasa ini. Ukurannya pun semakin
meraksasa, sehingga pernah dicatat dalam rekor MURI tahun 2002. Mungkin
sampai saat ini belum ada kota lain yang menyaingi, karena setiap tahun rekor
tersebut diperbarui sendiri oleh Kota Pekalongan.
Tahun ini ukuran lopis raksasa yang
dibuat adalah: tinggi 215 cm, lingkar diameter 240 cm, berat 1,320 kg dan
membutuhkan 400 kg beras ketan. Tahun sebelumnya diameternya sama tapi
ketinggiannya 210 cm (selisih 5 cm). Untuk memasak lopis sebesar itu dibutuhkan
waktu paling tidak 2×24 jam tanpa henti dengan menggunakan kayu bakar. Total
biayanya sekitar Rp 30 juta.
Gb 4. Lopis raksasa desa Krapyak memperoleh rekor MURI
Syawalan bermula sebagai
rasa toleransi tinggi untuk menghormati muslim-muslimah yang berpuasa syawal
setelah Puasa Ramadhan. Masyarakat Pekalongan dahulu biasa melakukan puasa
Syawal 6 hari langsung setelah hari raya. Jadi mulai tanggal 2 Syawal hingga
tanggal 7 Syawal.
Sehingga pada saat hari
raya maupun setelahnya mereka tidak merayakan secara berlebihan dengan
makan-makan. Baru setelah puasa Syawal selesai, mereka merayakannya
bersama-sama.
Pada tahun 1950, Syawalan
diadakan secara besar-besaran saat Presiden pertama Indonesia, Soekarno, datang
ke Pekalongan dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan yang
sekarang dijadikan monumen.
Syawalan
tidak terjadi di seluruh penjuru kota Pekalongan, hanya di salah satu bagian
bernama Krapyak Lor. Salah satu yang menjadi ciri khas saat Syawalan di kota ini adalah sajian
makanan yang dikenal dengan nama Lopis. Lopis merupakan penganan yang dibuat
dengan bahan dasar beras ketan yang dibungkus daun pisang. Mirip Lepet yang dibungkus dengan janur, hanya
saja lopis tidak memakai tambahan kelapa di dalamnya.
Lopis disajikan dengan
taburan kelapa parut setelah dipotong sesuai selera. kala itu Bung Karno
berpidato memberikan nasihat kepada masyarakat agar menjaga persatuan seperti
lopis yang terbuat dari ketan yang saling menyatu (lengket).
Sejak saat itu Warga
Krapyak membuat lopis raksasa untuk perayaan tradisi syawalan. Perayaan tersebut diawali dengan dipotongnya kue
berukuran besar itu oleh Kepala Daerah Pemerintah setempat.
Awal pembuatan lopis
raksasa di Krapyak ini sudah dimulai sejak 1955 namun upacara pemotongan lopis
ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, Kepala Desa tersebut pada
saat itu. Dulu pembuatan lopis raksasa memang bertujuan untuk diberikan kepada
tamu dan pengunjung. Awalnya masyarakat mengumpulkan jimpitan beras ketan dari masing-masing rumah kemudian dijadikan
satu dan dibuat lopis. Lopis besar pertama yang dibuat hanya berukuran tinggi
sekitar 25 sentimeter. Ukuran itu bertahan hingga tahun 1980. Barulah saat itu
pemuda setempat berinisiatif untuk memperbesar ukuran lopis dan baru disebut
lopis raksasa. Lopis raksasa pertama dibuat tahun 1980 mempunyai ukuran tinggi
80 sentimeter dengan ukuran lingkaran 115 sentimeter. Saat ini lopis raksasa
yang dibuat mencapai ukuran tinggi 213 sentimeter dengan ukuran lingkaran 232
meter dan berat 1252 kilogram. Prosesi lopisan dimulai dengan memotong lopis
raksasa oleh walikota atau pejabat Forpimda Kota Pekalongan kemudian dibagikan
kepada masyarakat yang hadir.
Gb 5. Pemotongan dan pembagian lopis oleh pejabat
setempat kepada masyarakat
Konsep Masyarakat
Jawa tentang Alam Semesta
Alam semesta dalam
pemikiran masyarakat Jawa terdiri atas makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad
cilik). Terdapat tiga konsep pemikiran masyarakat Jawa terhadap alam
semesta, yaitu konsep kosmis, magis, dan klasifikatoris (Darmoko, 2002: 35).
Konsep kosmis memandang bahwa alam semesta yang terdiri dari jagad gedhe dan jagad cilik adalah satu kesatuan yang harmonis dan selalu
berhubungan. Konsep magis menjelaskan bahwa antara jagad gedhe dan jagad cilik
dapat saling mempengaruhi kondisi yang terjadi pada salah satu alam tersebut.
Konsep klasifikatoris memfokuskan bahwa manusia memiliki fungsi dan kedudukan yang
jelas dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta, dan Tuhan.
Berdasarkan konsep
tersebut, manusia memandang bahwa elemen-elemen di dalam kosmos merupakan
sistem yang telah teratur rapih, sehingga jika ada elemen yang berusaha
mengintervensi elemen yang lain maka akan mengakibatkan ketidakteraturan di
dalam kosmos. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi penyimpangan
fungsi salah satu elemen semesta pada kejadian tersebut.
Penyimpangan fungsi
tersebut mengakibatkan ketidakhayuan/
ketidaktentraman di dalam bawana
(kosmos, alam semesta, jagat raya). Untuk itu, manusia dituntut untuk menyadari
eksistensi fungsinya dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai elemen lain
dalam sistem kosmos. Hal ini sesuai dengan tugas manusia di dunia, yaitu memayu hayuning bawana ‘menjaga
ketentraman dunia’. Adapun cara untuk meraih kesadaran tersebut adalah melalui
introspeksi diri atas tugas dan fungsinya di dunia (mawas diri, tepa slira, mulat sarira hangrasa wani).
Implikasi dari
introspeksi diri adalah pengendalian hawa nafsu yang melingkupi hidupnya
melalui laku. Laku manusia yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dapat
memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap hakikat asal dan tujuan kehidupan (sangkan paraning dumadi) sehingga
kehidupan yang sempurna dapat dicapai (kasampurnaning
dumadi – manunggaling kawula gusti).
Fungsi manusia
hubungannya dengan ketentraman dunia berkaitan dengan dharma yang diturunkan kepadanya. Darma adalah tugas suci dari
Tuhan yang diemban manusia dalam rangka suatu misi untuk mewujudkan ketentraman
jagat raya. Setiap manusia memiliki dharma
sebagai suatu tanggungan hidup yang harus dijalankan. Dharma-dharma tersebut dilaksanakan berdasarkan status dan peran
yang didapatkan oleh manusia berdasarkan kedudukannya dalam dunia dan dalam
masyarakat, antara lain dharma raja,
dharma ksatriya, dharma pendeta/ brahman, dll.
Dalam menjalankan dharmanya guna mencapai ketentraman jagad gedhe (dalam hal ini diartikan
sebagai kehidupan bermasyarakat), manusia Jawa memiliki prinsip-prinsip yang
harus dilakukannya, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kedua prinsip
tersebut merupakan prinsip dasar yang harus dipatuhi setiap anggota masyarakat
dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat lain.
Franz (1991: 39),
menyatakan bawa prinsip rukun merupakan prinsip pencegahan konflik. Keadaan
rukun bagi masyarakat Jawa bukan merupakan penciptaan keadaan keselarasan
sosial, melainkan tindakan yang tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada.
Prinsip kerukunan merupakan suatu prinsip penata bentuk pergaulan antara
anggota masyarakat. Artinya, tindakan setiap anggota masyarakat harus
menyesuaikan atau tidak bertentangan dengan keselarasan dan ketenteraman
masyarakat, di mana dia menjadi salah satu anggotanya.
Adapun prinsip hormat
menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya (Franz, 1991: 60). Prinsip
hormat tersebut berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur
secara hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis tersebut bernilai pada dirinya sendiri
dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri
sesuai dengannya.
1.
Kesimpulan
Tradisi syawalan merupakan tradisi masyarakat
Nusantara, khususnya Jawa yang pada dasarnya adalah campuran antara budaya
Islam dengan budaya lokal. Pada beberapa daerah, tradisi syawalan memiliki bentuk dan penyebutan nama yang berbeda-beda,
misalnya tradisi lebaran Kopat daerah
Kaliwungu, Kendal dengan mengadakan ziarah ke makam Kyai Asy’ari, tradisi
Lomban Kabupaten Jepara dengan mengadakan larung sesaji ke laut utara Jawa,
sedangkan tradisi syawalan di daerah
Pekalongan dilakukan dengan pemotongan lopis raksasa.
Awal tradisi syawalan di daerah Pekalongan terjadi
pada masa KH. Abdullah Siradj, yang merupakan keturunan dari Ki Bahureksa,
pendiri wilayah Pekalongan. Syawalan Pekalongan
diawali dengan pembuatan lopis raksasa seberat 5,5 kuintal dengan ketinggian
dua meter berdiameter 150 cm. Kemudian pada hari kedelapan bulan Syawal dalam kalender Islam, dilakukan
pemotongan lopis tersebut oleh pejabat setempat. Pemotongan lopis ini menandai
acara puncak Syawalan Pekalongan yang
dihadiri oleh ribuan masyarakat sekitar Pekalongan.
Penggunaan lopis sebagai
simbol yang berarti kerukunan antar masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan
diadakannya acara syawalan yang
merupakan wadah bersilaturahmi antar anggota masyarakat setelah berpuasa
sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Dengan adanya acara tersebut, masyarakat
Pekalongan menyadari bahwa kerukunan merupakan elemen penting untuk menjaga
keharmonisan hubungan antar masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep
masyarakat Jawa tentang tujuan hidupnya, yaitu memayu hayuning bawana. Bahwa untuk mencapai keadaan dunia yang
tenteram, manusia harus menyadari fungsinya terkait dengan tujuan yang hendak
dicapai. Adapun bentuk kesadaran tersebut diwujudkan melalui tindakan yang
sesuai dengan prinsip rukun dan hormat.
Daftar Pustaka
Abdullah
Ciptoprawiro. 2000. Filsafat Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka
C.
Geertz. 2013. Agama Jawa: Abangan,
Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu
Franza
Magnis Suseno. 1991. Etika Jawa.
Jakarta: PT Gramedia
Daftar Makalah Ilmiah
Darmoko.
2002. “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat
Jawa”. Makara Sosial Humaniora Vol. 6 No.1.
Hadiyanto.
Calenderial Ritual Syawalan sebagai
Mediasi “Ngalap Berkah” Masyarakat Kaliwungu Kendal. Universitas
Diponegoro.
Daftar Rujukan Powerpoint Perkuliahan
Turita
Indah S. Filsafat Jawa. Disampaikan pada mata kuliah Filsafat Timur, 19 Oktober
2015.
Darmoko.
Konsep Laku dalam Budaya Jawa.
Disampaikan pada mata kuliah Religi Jawa 2015.
Darmoko.
Konsep Memayu Hayuning Bawana dalam
Budaya Jawa. Disampaikan pada mata kuliah Religi Jawa 2015.
Daftar Website
http://pekalongankab.go.id diakses tanggal 15 Desember 2015
http://www.cintapekalongan.com/kisah-ki-bahurekso-adipati-kendal-pertama-dan-babat-pekalongan/ diakses
tanggal 15 Desember 2015
Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
BalasHapusDan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya
makasih sangat membantu
BalasHapus