Rabu, 17 Agustus 2016

Tradisi Syawalan Masyarakat Krapyak - Pekalongan



1.    Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan tradisi dan adat istiadat. Sebagian tradisi tersebut ada yang masih murni dan ada yang sudah mengalami perubahan bentuk, seperti dimasuki oleh unsur-unsur keagamaan. Salah satu tradisi yang dimasuki adalah tradisi syawalan biasa dilakukan setelah lebaran Idul Fitri. Syawalan merupakan tradisi yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, walaupun hakikatnya tradisi ini datang setelah muncul inisiatif dari beberapa kalangan ulama terdahulu sebagai tradisi untuk mengemban amanah keagamaan yaitu dalam bentuk silaturahmi. Tradisi syawalan hadir sebagai konsep untuk membentuk masyarakat yang arif menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan. Ibnu Djarir menegaskan bahwa tradisi syawalan di Yogyakarta pada awalnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh pangeran Sumbernyawa dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Oleh karena itu, setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana dalam acara tersebut. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib dan teratur melakukan sungkeman kepada raja dan permasuri.
Budaya Syawalan biasa disebut dengan Lebaran Ketupat. Orang Jawa menyebutnya dengan Lebaran Kopat atau acara Syawalan. Syawal merupakan nama sebuah bulan dalam kalender Islam. Tradisi ini bagi masyarakat Jawa sudah menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa syawal selama enam hari. Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk belah ketupat yang di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa diterjemahkan dengan “Laku Lepat” yang di dalamnya mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa/kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah mempunyai ciri dan caranya masing-masing dalam memaknai Lebaran Ketupat. Masyarakat yang tinggal di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah misalnya. Sehari menjelang Lebaran Ketupat yang jatuh tiap tanggal 8 Syawal tiap tahunnya, mereka beramai-ramai menyerbu pasar-pasar untuk membeli berbagai keperluan bahan pembuat ketupat. Bila kita berkesempatan ke sana, setiap rumah pasti menyediakan ketupat ini.
Masyarakat Kaliwungu mengawali prosesi Lebaran Kopat atau Syawalan dengan mengunjungi atau menziarahi para makam ulama setempat atau tokoh agama yang sangat disegani dan dihormati, salah satunya Kyai Asy’ari (Kyai Guru). Setibanya di makam tersebut mereka melakukan ritual keagamaan dengan cara melakukan doa bersama dan sekaligus memperingati wafatnya sang tokoh atau populer disebut dengan khoul. Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984: 328) menerangkan bahwa salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup adalah adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik ulama atau kyai. Setelah doa selesai digelar, mereka bersama-sama menikmati hidangan yang telah tersedia dengan menu utama berupa hidangan ketupat yang dicampur dengan sayur dan lauk-pauknya.
Sedangkan, Masyarakat Jepara, Jawa Tengah menyebut Syawalan dengan Lomban. Prosesinya diawali dari kawasan tempat pelelangan ikan, Ujung Batu, Jepara. Di tempat tersebut masyarakat menyediakan sesaji berupa satu kepala kerbau yang dihiasi dengan pernak-pernik makanan dan sayuran. Setelah melakukan doa bersama yang dipimpin oleh seorang kyai, seluruh sesaji tersebut kemudian diletakkan di atas kapal kecil untuk dilarung di tengah laut. Pada saat itulah makanan sesaji itu menjadi rebutan bagi para nelayan atau masyarakat sekitar. Tradisi ini menurut warga setempat sebagai bentuk ungkapan syukur atas perlindungan dan berkat yang diterima warga Jepara selama satu tahun dan memohon perlindungan dan rezeki berlimpah untuk satu tahun mendatang.
Sementara masyarakat Desa Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah memperingati Syawalan dengan cara membuat lopis raksasa seberat 5,5 kuintal dengan ketinggian dua meter berdiameter 150 cm. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1855 M yang pertama kali digelar oleh KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Reksa. Acara ini digelar sebagai sarana untuk menciptakan kerukunan umat muslim di samping juga sebagai suatu media untuk syiar agama Islam. Ribuan warga rela berdesakan dan saling berebut untuk mendapatkan potongan lopis raksasa tersebut. Konon, siapa yang mendapatkan lopis tersebut akan mendapat berkah.

2.    Pembahasan
Sejarah Ki Bahureksa dan Pekalongan
Kisah Ki Bahureksa yang membabat tanah Pekalongan bermula dari kisah seorang pemuda bernama Jaka Bahu, putra tunggal Ki Ageng Cempaluk yang ingin mengabdikan diri pada kerajaan Mataram. Pada waktu itu, Mataram berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Jaka Bahu berasal dari sebuah desa kecil bernama Kesesi (berasal dari kata kasisian yang artinya pengasingan).
Ki Ageng Cempaluk sendiri adalah punggawa Maaram yang karena kesalahannya kemudian diasingkan dan membangun sebuah padepokan di desa Kesesi, yang letaknya di hulu kali Comal. Konon kesaktian Ki Cempaluk sudah terdengar lama dan menjadi buah bibir di keraton Mataram. Maka tanpa banyak pertimbangan, Sultan Agung akhirnya menerima bakti Jaka Bahu.
Namun sudah menjadi sarat mutlak bahwa setiap prajurit yang hendak mengabdi kepada negara harus melalui tiga tahap pendadaran atau uji kesetiaan pada negara terlebih dahulu. Termasuk kemampuan mengatasi masalah dan olah keprajuritannya.
Tahap pertama yang diajukan kepada Jaka Bahu adalah membendung kali Sambong, karena setiap musim kemarau selalu saja sawah-sawah rakyat di sepanjang aliran sungai tersebut selalu kekeringan, dan dengan membendung kali Sambong di Kabupaten Batang diharapkan air dapat naik dan mengairi sawah-sawah di sekitar tempat tersebut sehingga hasil panen dapat meningkat. Tetapi, kali Sambong sendiri terkenal angker, dan sudah beberapa kali dilakukan pembendungan namun selalu gagal. Begitu pula yang dialami oleh Jaka Bahu elama tiga kali upayanya membendung kali tersebut. Hal tersebut membuat bingung Jaka Bahu, hingga akhirnya dia melakukan tapa brata dan bertemu dengan siluman welut putih penunggu kali tersebut. Dalam tapanya tersebut, terjadi perkelahian antara Jaka Bahu dan siluman tersebut yang dimenangkan oleh Jaka Bahu.
Setelah berhasil melaksanakan tugas pertama, tugas berikutnya adalah membuka lahan baru di tepi pantai utara sebelah Kabupaten Batang, yaitu alas Gamibran, atau sekarang Gambaran. Sewaktu itu alas Gambiran adalah alas yang sering dihindari oleh para rombongan pedagang yang melakukan perjalanan jauh karena keadaannya yang angker dan tidak tersentuh. Kepercayaan masyarakat pada waktu itu menyatakan bahwa setiap orang yang masuk ke hutan Gambiran pasti dia hanya akan berputar-putar di dalamnya dan tidak pernah bisa keluar lagi dengan selaamat, begitu pula yang dialami oleh para prajurit Jaka Bahu. Atas dasar tersebut, kemudian Jaka Bahu melaksanakan tapa ngidang, namun tetap dapat digagalkan oleh Dewi Lanjar yang diutus Ratu Kidul untuk menggagalkan upaya Jaka Bahu. Atas saran ayahnya, Jaka Bahu kemudian melaksanakan tapa ngalong selama 40 hari. Berkat usahanya tersebut, Jaka Bahu berhasil mengalahkan Dewi Lanjar dan berhasil membuka lahan baru di daerah tersebut yang kemudian dinamai Pekalongan (yang berarti tempat melakukan tapa ngalong).
Tugas ketiga adalah mengalahkan Belanda di Batavia, namun tugas tersebut tidak berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu. Jaka Bahu dan pasukannya menderita kekalahan dalam melawan Belanda. Kekaahan tersebut membuat Jaka Bahu tidak berani pulang ke Kadipaten Kendal, dia memilih untuk mendirikan keraton kekadipatenan yang letaknya di sebelah selatan Wiradesa (sekarang daerah keraton tersebut bernama Kadipaten). Tetapi kabar tersebut terdengar oleh Raja Mataram dan kemudian mengutus seorang pendekar China bernama Tan Jin Kwen yang kemudian diangkat dan ditetapkan sebagai adipati Pekalongan pertama setelah berhasil menyingkirkan Jaka Bahu.
Terdapat versi lain yang menyebutkan bahwa ki Bahureksa atau Jaka Bahu meninggal karena terluka parah sewaktu perang di Batavia. Ki Bahureksa mengalami luka yang parah akibat terkena meriam Belanda. Ketika perjalanan pulang sampai di kota, beliau tidak mampu bertahan. Akhirnya Ki Bahureksa meninggal dunia dan dimakamkan oleh para pengikutnya di daerah Lebaksiu – Tegal. 
Gb 1. Makam Ki Ageng Cempaluk di daerah Kesesireja, Kecamatan Bodeh, Pemalang.
 


Gb 2. Makam Tumenggung Bahureksa (Ki Jaka Bahu) di astana Jambu, Desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Tegal.

Tradisi Syawalan Kota Pekalongan
Hasil penelitian Bagus Ariyanto tentang tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan (2010) dimuat pada halaman http://eprints.undip.ac.id/19796/ menyebutkan bahwa tradisi syawalan merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan menggunakan simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan, yaitu lopis, daun pisang, tali, bambu, dan lotisan. Resepsi masyarakat terhadap makna simbolik tradisi syawalan termasuk dalam kategori tahu dan percaya. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur terhadap 30 orang narasumber, sebanyak 73,33 % masyarakat menyatakan tahu dan percaya terhadap makna simbolik tradisi syawalan. Mereka tahu dan percaya bahwa lopis merupakan simbol persatuan dan kesatuan masyarakat Krapyak Kidul, daun pisang merupakan simbol perjuangan yang tidak pernah berhenti, tali merupakan simbol hubungan manusia dengan sesamanya, bambu merupakan simbol hubungan manusia dengan Allah SWT, dan lotisan merupakan simbol keberagaman masyarakat Krapyak Kidul.
Bagi warga Pekalongan khususnya dan masyarakat Pantura Jawa umumnya, kemeriahan lebaran biasanya bukan pada saat Idul Fitri, melainkan pada tanggal ke-8 Bulan Syawal, yang dinamakan Syawalan. Sebagai masyarakat agamis yang taat dan patuh pada ustadz/kyai, umumnya setelah Idul Fitri umat Islam masih melaksanakan puasa sunnah 6 hari. Pada hari ke-8 Bulan Syawal itulah, warga masyarakat merayakan lebaran yang sesungguhnya dengan berbondong-bondong saling berkunjung ke rumah sanak famili dan ke tempat-tempat hiburan.
Pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak Pekalongan merayakan hari raya setelah berpuasa 6 hari. Para sesepuh dan tokoh masyarakat setempat menerima tamu baik dari luar desa dan luar kota (sekarang istilahnya open house). Hal ini diikuti oleh masyarakat di luar wilayah Krapyak, sehingga mereka pun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Kegiatan ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.
Menurut informasi, tradisi Syawalan ini sudah dimulai sekitar 160 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855, ketika KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahurekso (Perwira Kerajaan Mataram yang ditugaskan menjaga wilayah Pekalongan dan sekitarnya)  menggelar hajatan Syawalan. Lopis, merupakan suguhan utama bagi para tamu. Mengingat banyaknya tamu yang hadir, lopis dibuat dengan ukuran besar. Tradisi ini berlanjut pada Syawalan tahun-tahun berikutnya. Adapun upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, kepala desa (lurah) Krapyak pada saat itu. Sekitar tahun 1970-an upacara ini mulai menjadi agenda kegiatan pemerintah kota dan Walikota yang memimpin pemotongan tumpeng raksasa sebelum dibagi-bagikan kepada pengunjung.
 Gb 3. Proses pembuatan lopis raksasa


Tradisi Syawalan Lopis Raksasa saat ini sudah menjadi salah agenda tahunan wisata Kota Pekalongan. Bukan hanya warga sekitar Krapyak atau Kota Pekalongan, bahkan dari berbagai daerah juga berminat menyaksikan upacara pemotongan lopis raksasa ini. Ukurannya pun semakin meraksasa, sehingga pernah dicatat dalam rekor MURI tahun 2002. Mungkin sampai saat ini belum ada kota lain yang menyaingi, karena setiap tahun rekor tersebut diperbarui sendiri oleh Kota Pekalongan.

Tahun ini ukuran lopis raksasa yang dibuat adalah: tinggi 215 cm, lingkar diameter 240 cm, berat 1,320 kg dan membutuhkan 400 kg beras ketan. Tahun sebelumnya diameternya sama tapi ketinggiannya 210 cm (selisih 5 cm). Untuk memasak lopis sebesar itu dibutuhkan waktu paling tidak 2×24 jam tanpa henti dengan menggunakan kayu bakar. Total biayanya sekitar Rp 30 juta.
 

Gb 4. Lopis raksasa desa Krapyak memperoleh rekor MURI
Syawalan bermula sebagai rasa toleransi tinggi untuk menghormati muslim-muslimah yang berpuasa syawal setelah Puasa Ramadhan. Masyarakat Pekalongan dahulu biasa melakukan puasa Syawal 6 hari langsung setelah hari raya. Jadi mulai tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal.
Sehingga pada saat hari raya maupun setelahnya mereka tidak merayakan secara berlebihan dengan makan-makan. Baru setelah puasa Syawal selesai, mereka merayakannya bersama-sama.
Pada tahun 1950, Syawalan diadakan secara besar-besaran saat Presiden pertama Indonesia, Soekarno, datang ke Pekalongan dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan yang sekarang dijadikan monumen.
Syawalan tidak terjadi di seluruh penjuru kota Pekalongan, hanya di salah satu bagian bernama Krapyak Lor. Salah satu yang menjadi ciri khas saat Syawalan di kota ini adalah sajian makanan yang dikenal dengan nama Lopis. Lopis merupakan penganan yang dibuat dengan bahan dasar beras ketan yang dibungkus daun pisang. Mirip Lepet yang dibungkus dengan janur, hanya saja lopis tidak memakai tambahan kelapa di dalamnya.
Lopis disajikan dengan taburan kelapa parut setelah dipotong sesuai selera. kala itu Bung Karno berpidato memberikan nasihat kepada masyarakat agar menjaga persatuan seperti lopis yang terbuat dari ketan yang saling menyatu (lengket).
Sejak saat itu Warga Krapyak membuat lopis raksasa untuk perayaan tradisi syawalan. Perayaan tersebut diawali dengan dipotongnya kue berukuran besar itu oleh Kepala Daerah Pemerintah setempat.
Awal pembuatan lopis raksasa di Krapyak ini sudah dimulai sejak 1955 namun upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, Kepala Desa tersebut pada saat itu. Dulu pembuatan lopis raksasa memang bertujuan untuk diberikan kepada tamu dan pengunjung. Awalnya masyarakat mengumpulkan jimpitan beras ketan dari masing-masing rumah kemudian dijadikan satu dan dibuat lopis. Lopis besar pertama yang dibuat hanya berukuran tinggi sekitar 25 sentimeter. Ukuran itu bertahan hingga tahun 1980. Barulah saat itu pemuda setempat berinisiatif untuk memperbesar ukuran lopis dan baru disebut lopis raksasa. Lopis raksasa pertama dibuat tahun 1980 mempunyai ukuran tinggi 80 sentimeter dengan ukuran lingkaran 115 sentimeter. Saat ini lopis raksasa yang dibuat mencapai ukuran tinggi 213 sentimeter dengan ukuran lingkaran 232 meter dan berat 1252 kilogram. Prosesi lopisan dimulai dengan memotong lopis raksasa oleh walikota atau pejabat Forpimda Kota Pekalongan kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir.



Gb 5. Pemotongan dan pembagian lopis oleh pejabat setempat kepada masyarakat

Konsep Masyarakat Jawa tentang Alam Semesta
Alam semesta dalam pemikiran masyarakat Jawa terdiri atas makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Terdapat tiga konsep pemikiran masyarakat Jawa terhadap alam semesta, yaitu konsep kosmis, magis, dan klasifikatoris (Darmoko, 2002: 35). Konsep kosmis memandang bahwa alam semesta yang terdiri dari jagad gedhe dan jagad cilik adalah satu kesatuan yang harmonis dan selalu berhubungan. Konsep magis menjelaskan bahwa antara jagad gedhe dan jagad cilik dapat saling mempengaruhi kondisi yang terjadi pada salah satu alam tersebut. Konsep klasifikatoris memfokuskan bahwa manusia memiliki fungsi dan kedudukan yang jelas dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta, dan Tuhan.
Berdasarkan konsep tersebut, manusia memandang bahwa elemen-elemen di dalam kosmos merupakan sistem yang telah teratur rapih, sehingga jika ada elemen yang berusaha mengintervensi elemen yang lain maka akan mengakibatkan ketidakteraturan di dalam kosmos. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi penyimpangan fungsi salah satu elemen semesta pada kejadian tersebut.
Penyimpangan fungsi tersebut mengakibatkan ketidakhayuan/ ketidaktentraman di dalam bawana (kosmos, alam semesta, jagat raya). Untuk itu, manusia dituntut untuk menyadari eksistensi fungsinya dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai elemen lain dalam sistem kosmos. Hal ini sesuai dengan tugas manusia di dunia, yaitu memayu hayuning bawana ‘menjaga ketentraman dunia’. Adapun cara untuk meraih kesadaran tersebut adalah melalui introspeksi diri atas tugas dan fungsinya di dunia (mawas diri, tepa slira, mulat sarira hangrasa wani).
Implikasi dari introspeksi diri adalah pengendalian hawa nafsu yang melingkupi hidupnya melalui laku. Laku manusia yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dapat memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap hakikat asal dan tujuan kehidupan (sangkan paraning dumadi) sehingga kehidupan yang sempurna dapat dicapai (kasampurnaning dumadi – manunggaling kawula gusti).
Fungsi manusia hubungannya dengan ketentraman dunia berkaitan dengan dharma yang diturunkan kepadanya. Darma adalah tugas suci dari Tuhan yang diemban manusia dalam rangka suatu misi untuk mewujudkan ketentraman jagat raya. Setiap manusia memiliki dharma sebagai suatu tanggungan hidup yang harus dijalankan. Dharma-dharma tersebut dilaksanakan berdasarkan status dan peran yang didapatkan oleh manusia berdasarkan kedudukannya dalam dunia dan dalam masyarakat, antara lain dharma raja, dharma ksatriya, dharma pendeta/ brahman, dll.
Dalam menjalankan dharmanya guna mencapai ketentraman jagad gedhe (dalam hal ini diartikan sebagai kehidupan bermasyarakat), manusia Jawa memiliki prinsip-prinsip yang harus dilakukannya, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang harus dipatuhi setiap anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat lain.
Franz (1991: 39), menyatakan bawa prinsip rukun merupakan prinsip pencegahan konflik. Keadaan rukun bagi masyarakat Jawa bukan merupakan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan tindakan yang tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada. Prinsip kerukunan merupakan suatu prinsip penata bentuk pergaulan antara anggota masyarakat. Artinya, tindakan setiap anggota masyarakat harus menyesuaikan atau tidak bertentangan dengan keselarasan dan ketenteraman masyarakat, di mana dia menjadi salah satu anggotanya.
Adapun prinsip hormat menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Franz, 1991: 60).  Prinsip hormat tersebut berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis tersebut bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya.

1.    Kesimpulan
Tradisi syawalan merupakan tradisi masyarakat Nusantara, khususnya Jawa yang pada dasarnya adalah campuran antara budaya Islam dengan budaya lokal. Pada beberapa daerah, tradisi syawalan memiliki bentuk dan penyebutan nama yang berbeda-beda, misalnya tradisi lebaran Kopat daerah Kaliwungu, Kendal dengan mengadakan ziarah ke makam Kyai Asy’ari, tradisi Lomban Kabupaten Jepara dengan mengadakan larung sesaji ke laut utara Jawa, sedangkan tradisi syawalan di daerah Pekalongan dilakukan dengan pemotongan lopis raksasa.
Awal tradisi syawalan di daerah Pekalongan terjadi pada masa KH. Abdullah Siradj, yang merupakan keturunan dari Ki Bahureksa, pendiri wilayah Pekalongan. Syawalan Pekalongan diawali dengan pembuatan lopis raksasa seberat 5,5 kuintal dengan ketinggian dua meter berdiameter 150 cm. Kemudian pada hari kedelapan bulan Syawal dalam kalender Islam, dilakukan pemotongan lopis tersebut oleh pejabat setempat. Pemotongan lopis ini menandai acara puncak Syawalan Pekalongan yang dihadiri oleh ribuan masyarakat sekitar Pekalongan.
Penggunaan lopis sebagai simbol yang berarti kerukunan antar masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan diadakannya acara syawalan yang merupakan wadah bersilaturahmi antar anggota masyarakat setelah berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Dengan adanya acara tersebut, masyarakat Pekalongan menyadari bahwa kerukunan merupakan elemen penting untuk menjaga keharmonisan hubungan antar masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep masyarakat Jawa tentang tujuan hidupnya, yaitu memayu hayuning bawana. Bahwa untuk mencapai keadaan dunia yang tenteram, manusia harus menyadari fungsinya terkait dengan tujuan yang hendak dicapai. Adapun bentuk kesadaran tersebut diwujudkan melalui tindakan yang sesuai dengan prinsip rukun dan hormat.



Daftar Pustaka
Abdullah Ciptoprawiro. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
C. Geertz. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu
Franza Magnis Suseno. 1991. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Daftar Makalah Ilmiah
Darmoko. 2002. “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa”. Makara Sosial Humaniora Vol. 6 No.1.
Hadiyanto. Calenderial Ritual Syawalan sebagai Mediasi “Ngalap Berkah” Masyarakat Kaliwungu Kendal. Universitas Diponegoro.
Daftar Rujukan Powerpoint Perkuliahan
Turita Indah S. Filsafat Jawa. Disampaikan pada mata kuliah Filsafat Timur, 19 Oktober 2015.
Darmoko. Konsep Laku dalam Budaya Jawa. Disampaikan pada mata kuliah Religi Jawa 2015.
Darmoko. Konsep Memayu Hayuning Bawana dalam Budaya Jawa. Disampaikan pada mata kuliah Religi Jawa 2015.
Daftar Website
http://pekalongankab.go.id diakses tanggal 15 Desember 2015







2 komentar:

  1. Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
    Dan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
    Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya

    BalasHapus