
Penyusun : Bambang Hudayana
Sri Retna Astuti
Emiliana Sadilah
Suseno Dwi Hantoro
Ardana Kusumawanto
Nouruz Zaman Okhtaby
Penerbit : Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Daerah Istimewa Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : xviii + 140 halaman; 17 x 24 cm
ISBN : 602 – 1727150
Berdasarkan waktu pelaksanaannya, upacara tradisional terbagi menjadi dua, yaitu upacara berdasarkan siklus kehidupan dan upacara-upacara selingan atau insidental. Salah satu bentuk upacara insidental dalam masyarakat Jawa adalah upacara meminta hujan.
Upacara meminta hujan merupakan tradisi masyarakat agraris, khususnya pada masyarakat yang mengembangkan sistem pertanian sawah basah. Berbagai kelompok masyarakat petani sawah di Jawa memang memiliki tradisi ini karena secara empiris para petani selalu dihadapkan pada kebutuhan untuk memperoleh suplai air yang memadai. Di berbagai daerah di Jawa, upacara ini mempunyai nama lokal dan beragam prosesi tersendiri, namun semuanya mengarah pada upaya untuk mendatangkan air. Misalnya upacara cingcowong di daerah Kuningan, upacara tiban di daerah Kediri, upacara becekan di daerah Sleman, upacara mantu kucing di daerah Malang, dan upacara cowongan di daerah Banyumas. Di daerah Banjarnegara, upacara meminta hujan disebut dengan upacara ujungan.
Upacara ujungan berasal dari kata ujung, yang bermakna berbakti – ngabekti. Upacara ujungan berarti ritual upacara yang digunakan sebagai sarana berbakti kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan berbagai hasil bumi yang dapat dinikmati oleh para petani. Ritual ini digunakan sebagai media ‘negosiasi’ dengan kekuatan adikodrati agar hasil yang dapat diperoleh dapat lebih baik lagi. Dalam musim kemarau, petani mengalami kesulitan mencari sumber air untuk mengairi sawah mereka, sehingga dikhawatirkan akan terjadi gagal panen. Oleh karena itu, para petani mengadakan upacara sebagai media komunikasi dengan Tuhan agar segera diturunkan hujan.
Upacara ujungan merepresentasikan keadaan sosial masyarakat Gumelem Wetan, Banjarnegara sebagai masyarakat agraris dalam menghadapi permasalahan kelangkaan air pada musim kemarau. Upacara adat ini sudah ada sejak tahun 1680, di mana ketika itu terjadi perang antar petani dua daerah yang saling berebut sumber air. Pada awal kemunculannya, upacara ujungan diadakan dengan mengadakan pertarungan antara dua orang petani menggunakan kayu raside yang dapat membuat gatal. Pertarungan tersebut berlangsung sampai kedua petani mengalami luka-luka, bahkan sampai berdarah-darah. Para petani percaya bahwa darah yang keluar merupakan sarana doa kepada Tuhan agar segera menurunkan hujan di daerah tersebut.
Sebagai sebuah upacara pertarungan, upacara ini memiliki kemiripan dengan ritual tiban di daerah Kediri. Upacara tiban adalah tarian yang mencambuki tubuh mereka sendiri sampai berdarah, sebagai bentuk pengorbanan dan ritual meminta hujan kepada Tuhan. Masyarakat yang meyakini ritual tersebut percaya bahwa darah yang keluar dari tubuh penari mampu mendatangkan hujan. Ritual ujungan dan tiban merupakan suatu bentuk religi orang kuno.
Ujungan biasanya diadakan antara bulan Oktober hingga November, saat musim kemarau berlangsung. Upacara diadakan pada hari Jumat Kliwon dari pukul 2 siang dan berakhir pukul 5 sore. Tentang berapa kali penyelenggaraan ujungan pada satu tahun tergantung pada turunnya hujan. Artinya upacara ujungan bisa diadakan dua, tiga, atau empat kali jika dalam satu minggu setelah upacara ujungan hujan belum turun.
Tempat yang digunakan sebagai lokasi upacara berada di tengah sawah. Pemilihan sawah sebagai tempat pelaksanaan upacara karena selain daerahnya yang lapang sehingga memudahkan gerak para pemain dan dapat menampung banyak penonton, juga berkaitan dengan latar belakang munculnya upacara ujungan itu sendiri. Upacara ujungan merupakan ritual adat yang suci. Sebuah upacara suci dipercaya masyarakat Banjarnegara mampu memberi berkah pada lokasi yang digunakan. Sawah yang digunakan sebagai lokasi ujungan dipercaya akan bertambah subur. Oleh karena itu, lokasi upacara ujungan selalu bergantian setiap tahunnya. Hal tersebut bermaksud untuk menghindari kecemburuan masyarakat yang mampu menyebabkan konflik sosial.
Penyelenggaraan upacara ujungan melibatkan beberapa pihak, antara lain walandang, para petani, dan masyarakat sekitar. Upacara ujungan dipimpin oleh seorang walandang yang berperan sebagai penghatur doa kepada Tuhan, dalam hal ini peran walandang sebagai tokoh agama. Di sisi lain, walandang juga berperan sebagai pengadil pertarungan. Seorang walandang akan menghentikan pertarungan jika salah satu pihak sudah terlihat kalah. Keterlibatan petani dalam upacara ini adalah sebagai petarung dalam upacara. Masyarakat sekitar hanya sebagai penonton dan penyandang dana atas penyelenggaraan upacara ujungan.
Sebagai sebuah upacara adat, ritual ujungan memiliki beberapa nilai filosofis. Pesan nilai moral yang mengutamakan asas sportivitas sangat menonjol dalam upacara ujungan. Tradisi perang dan berebut sumberdaya secara kotor dalam arti licik, sewenang-wenang, dan terselubung menjadi ancaman terhadap keharmonisan hubungan bermasyarakat. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan arena untuk menjadi ruang persaingan dan memindahkan persaingan itu menjadi pentas bela diri, bukan perang yang sebenarnya.
Upacara bukan sekedar sebuah tindakan magis, tetapi juga menjadi tindakan empiris untuk menggalang kekuatan kolektif guna menghadapi lawan. Oleh karena itu, pemaknaan atas upacara ujungan tidak hanya terletak pada unsur religi-magi saja, namun dapat dilihat dari segi sosialnya. Dari sisi sosial, upacara ujungan berperan sebagai media perekat solidaritas komunitas. Pertarungan yang ditampilkan dalam upacara ujungan merupakan peringatan dan permainan semata, bukan sebagai alat atau sarat akan turunnya hujan. Acara pertarungan dalam upacara ini digunakan sebagai wadah bagi masyarakat untuk melampiaskan emosinya dalam batasan-batasan peraturan permainan. Hal ini mengandung maksud untuk mencegah konflik horizontal di luar pertandingan.
Sehari sebelum upacara dilakukan, diadakan upacara sowan, ziarah ke makam Ki Ageng Giring, yaitu orang pertama yang membuka lahan pedesaan. Acara ini diadakan pada hari kamis wage. Upacara sowan dihadiri oleh walandang, dua orang pembantu walandang, dan dua pemain ujungan. Upacara sowan hanya berfungsi sebagai permintaan izin kepada arwah Ki Ageng Giring agar upacara ujungan yang akan diadakan esok hari dapat berjalan dengan lancar.
Setelah sowan, keesokan harinya diadakan semacam tirakatan dan kepungan dengan membawa tumpeng. Acara tirakatan dan kepungan ini diadakan pada pagi hari, pukul 08.30 sampai dengan pukul 10.00 WIB, sebelum ritual ujungan dilaksanakan. Sesaji yang dibawa berupa nasi tumpeng lengkap dengan sayur mayur, kacang panjang, krupuk, peyek kacang tanah, kecambah mentah, srundeng, telur ayam, dan ingkung ayam. Disajikan pula beberapa jajan pasar dan kembang menyan.
Acara tirakatan dan kepungan diawali dengan membakar dupa. Salah seorang tokoh agama yang hadir kemudian memukul kentongan yang terdapat dalam area makam. Tokoh agama tersebut kemudian melakukan persembahan ke arah makam sebanyak tiga kali, dilanjutkan dengan membaca doa meminta keselamatan. Setelah berdoa, tumpeng kemudian dimakan bersama oleh sejumlah orang yang menghadiri acara tersebut.
Pada siang harinya, sekitar pukul 2 siang, upacara ujungan dimulai. Seorang walandang menentukan lokasi upacara yang berukuran sekitar 8 x 10 meter. Ketika akan menentukan lokasi, walandang terus berdoa dan menyalakan kemenyan sebagai ungkapan agar doanya terkabul. Selain itu, walandang juga mohon restu kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Gumelem agar tidak terjadi hal-hal buruk selama upacara berlangsung. Walandang tersebut kemudian berdiri bersama dua orang pembantu walandang dan dua orang pemain.
Sebelum kedua pemain bertarung, walandang menancapkan batas ring untuk lokasi pentas. Penancapan batas tersebut diawali dengan mengacungkan pembatas tersebut ke arah makam, sebagai tanda bahwa para pemain ujungan siap memohon berkah keselamatan. Setelah itu, walandang mengacungkan kayu rotan kepada penonton untuk menawarkan bermain. Setelah ada dua penonton yang menyatakan diri siap bermain, keduanya diantar ke tengah area pertandingan untuk menerima kayu rotan. Setelah itu, walandang membacakan peraturan pertandingan kepada kedua pemain. Kemudian pertandingan berlangsung, dan dihentikan sejenak untuk tukar rotan atau yang disebut ulu kujung.
Pertandingan berlangsung sekitar 5-10 menit. Jika ada pemain yang sudah terkena pukulan dua kali namun tidak bisa membalas, maka pertandingan akan diakhiri dan diganti dengan pemain baru. Dalam satu hari upacara, dihadirkan 5-10 ronde pertandingan. Setiap ronde menampilkan duel sepasang pemain. Setelah 5-10 kali babak pertandingan, ujungan selesai. Penitia kemudian menyampaikan pengumuman bahwa acara pentas ujungan ditutup.
Dibandingkan dengan buku “Upacara Tradisional Saparan” terbitan tahun 1992, rangkaian kegiatan upacara adat ujungan tidak dijelaskan secara terperinci. Hal ini disebabkan fokus pembahasan buku terletak pada revitalisasi upacara ujungan baik dari aspek organisasi, ritual, dana, maupun nilai seni yang terkandung dalam upacara. Pembahasan mengenai upacara ujungan sangat terbatas sekali, misal dalam bab III. Berdasarkan judulnya, bab tersebut menjelaskan tentang upacara ujungan pada masa silam dan masa kini. Tidak adanya pembatasan waktu antara masa silam dan masa kini membuat pembahasan menjadi kurang fokus. Bahkan pembahasan tentang upacara ujungan masa silam tidak ada. Hanya terdapat sejarah perkembangan upacara adat ujungan, yang notabene sangat minim menyinggung upacara ujungan masa silam.
Upacara ujungan yang dideskripsikan dalam buku ini kurang bersifat tradisional. Artinya telah ada pengaruh budaya modern yang masuk dalam penyelenggaraan upcara ujungan di daerah Gumelem Wetan, Banjarnegara. Sebab, dari beberapa perlengkapan yang disebutkan merupakan hasil produk budaya modern, seperti helm sebagai pelindung kepala, dan kostum yang dipakai oleh pemain. Dari segi penyelenggaraannya, nilai tradisi atas upacara ujungan pun dinilai kurang. Buku ini menyebutkan bahwa publikasi atas kegiatan upacara adat ujungan dilakukan dengan menggunakan undangan dan mengedarkan pengumuman menggunakan mobil keliling. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam syair yang pengiring upacara dinilai kurang sesuai dengan budaya daerah Jawa pada umumnya.
Sebagai buku pengetahuan tentang upacara adat, buku Ritual Adat Ujungan tidak dapat dijadikan buku rujukan. Hal ini disebabkan minimnya penjelasan dan deskripsi atas nama upacara, teknis penyelenggaraan, makna filosofi perlengkapan upacara, dan sesaji yang diperlukan dalam upacara ujungan. Namun sebagai buku terapan, kiranya buku ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian serupa. Buku ini menjelaskan pengaruh penguasa – bupati dan pejabat desa – dalam perkembangan upacara ujungan menjadi seni pertunjukan yang menarik.
Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
BalasHapusDan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya